MURAH SAJA BELUM CUKUP .
Anak jalanan merupakan salah satu masalah sosial yang sangat pelik yang dihadapi oleh pemerintah daerah maupun kota di Indonesia.
Di Jakarta, masalah anak-anak jalanan telah memusingkan pemerintah dari tingkat I maupun pemerintah kotamadya. Anak-anak jalanan tersebut selain menimbulkan pemandangan yang kurang sedap karena berkeliaran di pinggir jalan protokol, terutama di lampu merah, juga aktivitas mereka sebagai pedagang asongan, pengamen, dan pengemis. Bagi banyak pihak , khususnya pengemudi kendaraan, dirasakan cukup menggangu.
Pemerintah pun jelas tidak tinggal diam, sudah banyak upaya yang di lakukan dari mengumpulkan mereka di rumah singgah, mendidik dan membina, sampai dengan memulangkan mereka ke tempat asal. Akan tetapi jumlah anak jalanan tetap saja tidak berkurang bahkan terus bertambah, dan aktivitas mereka tidak terhenti.
Ilmu ekonomi berpandangan apapun yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang umumnya selalu berdasarkan pertimbangan untung rugi. Dengan kata lain, ilmu ekonomi berpandangan bahwa anak-anak jalanan pun bertinnak rasional. Mereka akan tatap menjadi anak jalanan selama biaya ekonomi masih sangat kecil. Dengan kata lain mereka akan menolak mengikuti program-program pemerintah jika di anggap biaya ekonomi untuk mengikuti program-program tersebut amat besar. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, jawabanya sangat jelas, yaitu biaya ekonomi dari bersekolah bagi anak-anak jalanan masih sangat besar. Biaya ekonomi yang relevan bagi anak-anak jalanan dalam memutuskan untuk bersekolah atau tidak bersekolah adalah pendapatan yang di korbankan jika mereka bersekolah..
Seorang relawan di rumah singgah bagi anak jalanan di Depok mengisahkan, bagaimana sulitnya memotivasi anak-anak binaan mereka untuk bersekolah. Bantuan donatur sebenarnya lebih dari cukup untuk membiayai sekolah secara gratis, tapi tuntutan orangtua kepada anak-anak tersebut untuk mencari nafkah di usia dini, membuat mereka lebih memilih berada di jalan daripada sekolah.
Pemerintah bukannya tidak mafhum dengan kondisi tersebut. Kemendiknas pada tahun 2010 telah mengeluarkan data cukup rinci. Di tingkat SD, dari total 31,05 juta siswa sekitar 1,7% putus sekolah dan 18,4% lainnya tidak melanjutkan ke SMP. Untuk tingkat pendidikan SMP, dari jumlah 12,69 juta siswa, 1,9% putus sekolah, sementara 30,1% di antaranya tidak dapat melanjutkan ke SMA. Sedangkan pada tingkat SMA, persentasenya lebih tinggi lagi. Jumlah siswa putus sekolah mencapai 4,6% dari total 9,11 juta siswa, sementara yang tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi sebanyak 59,8%.
Berbagai program bantuan pendidikan pun digelontorkan pemerintah, melalui skema beasiswa maupun BOS. Tapi solusi parsial yang ditawarkan belum menyentuh permasalahan utama mayoritas anak-anak putus sekolah, yaitu kesulitan ekonomi keluarga.
Semurah apapun biaya pendidikan, bahkan gratis sekalipun, tetap akan membuat anak-anak miskin enggan bersekolah, apabila kedua orangtuanya masih kesulitan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tuntutan membantu ekonomi keluarga dengan mengamen, berjualan atau menjadi tukang semir sepatu, membuat anak-anak usia sekolah dapat ditemukan beredar di tempat-tempat umum, pada jam sekolah, permasalahan pendidikan masyarakat miskin bukan hanya terletak pada ketiadaan biaya pendidikan, namun lebih karena kondisi ekonomi keluarga miskin menuntut setiap anggotanya untuk bahu-membahu mencari nafkah, termasuk anak-anak.
Hal tersebut yang harus menjadi perhatian serius pemerintah, bila ingin meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini. Pemerintah harus dapat memberi solusi integral terhadap masalah kemiskinan terlebih dahulu. Karena bila masih miskin, orangtua akan lebih memilih anaknya untuk mencari nafkah ketimbang bersekolah, sekalipun sekolah itu bebas biaya. sumber : Pengantar ekonomi , ekonomi mikro dan kompasiana .
0 komentar:
Posting Komentar